
Kunjungan SKIS KUTTAB
Siang itu 10 Oktober 2017 kami kedatangan tamu yang Istimewa menurut kami . Mereka dating dengan mengendarai mobil Inova. Mereka berenam berasal dari SKIS (SEKOLAH KARAKTER IMAM SYAFI?I) Semarang yaitu kepala sekolah Ustadz Ibnu Sulaiman disertai 2 orang walimurid Pak Amirudin dan Pak Eko kemudian 3 Ustadz Kuttab Al Madinah Pekalongan yaitu Ustadz Jaka, Ustadz Fungki, dan terakhir Ustadz Abdul Syukur. (sekarang telah berganti nama menjadi SABA AL-Madinah)
Rombongan datang tatkala matahari mulai meninggi sekitar jam 11 siang. Kita saling diskusi , sharing dan membicarakan banyak hal mengenai dunia pendidikan anak dan sekolah.
Kemudian break sebentar untuk menunaikan sholat dhuhur, lalu diskusi pun dilanjutkan setelah anak-anak pulang sekolah sambil menyantap Nasi padang sampai sekitar jam setengah tiga.
Pak Amirudin beliau adalah pemerhati dunia pendidikan anak, praktisi pendidikan fitrah, dan juga sebagai narasumber di beberapa seminar pendidikan anak. Sekaligus beliau juga sebagai walimurid di SKIS Semarang.
Diantara materi yang bisa kita ambil :
Beliau menilai anak-anak SIUBA lebih perform, deket sama ustadz ustadzahnya, mudah akrab, punya percaya diri tinggi. Dan ini Alhamdulillah sudah sesuai dengan konsep pendidikan kita. Anak-anak tidak takut sama ustadz ustadzahnya. Bahkan salah seorang tamu yang lain pun mengatakan : tadi saat saya tengok ke kelas dan saya tanya anak-anak, ternyata anak-anak langsung nyambung dan nggak canggung.
==================
Kebanyakan orangtua masih terbawa mindset (pola pikir) yang lama tentang sekolah. Pasrah sepenuhnya pada sekolah, mengutamakan aspek kognitif(wawasan) & calistung semata, anak dengan nilai tinggi dianggap anak yang paling hebat, anak yang tidak bias anteng dianggap sebagai anak nakal. Dan masih banyak lagi. Padahal yang terpenting bagi kita adalah keimanan. Keimanan sebagai pondasi karakter anak.
Untuk membongkar mindset seperti itu memang susah, butuh keberanian untuk tampil beda. Mendidik sesuai dengan yang semestinya.
===============
Kebanyakan sekolah islam saat ini berlomba-lomba menyuguhkan program unggulan tahfidz al-quran. Tak Jarang kita dapati anak-anak TK pun sudah meiliki banyak hafalan quran. Fenomena tersebut patut untuk kita berikan apresiasi karna ini menunjukkan bahwa semangat untuk mempelajari agama semakin tinggi. Sebagai orangtua pun kita bangga jika punya anak yang memiliki banyak hafalan. Orangtua mana sih yang ga seneng anaknya hafal quran?
Namun disisi lain ada aspek yang seringkali dilupakan karena fokusnya adalah bagaimana caranya agar anak bisa mengejar target dan hafal sebanyak-banyaknya. Aspek tersebut adalah aspek iman. Ya keimanan. Keimanan memang sesuatu yang tak tampak oleh mata sehingga hal ini sering dilalaikan. Ketahuilah bahwa iman ini yang terpenting. Buat terlebih dahulu anak agar cinta quran, cinta Allah, cinta rasulullah. Ketika anak sudah suka dengan quran, maka dengan sendirinya mereka akan minta untuk diajari quran, mereka akan berusaha menghafal quran dengan kesadaran sendiri.
Sebuah pepatah mengatakan, menuntut ilmu waktu kecil bagaikan mengukir diatas batu, sedangkan menuntut ilmu diwaktu dewasa bagaikan menulis diatas air. Kita katakan bahwa tepat sekali pepatah tersebut. Namun kita pun juga perlu menyadari tentang hakikat dari ilmu itu sendiri. Mindset yang ada dalam benak kita bahwa ilmu itu ya yang banyak hafalannya. Sehingga banyak orang berfikiran mumpung masih kecil lantas digenjot biar punya banyak hafalan.
Ketahuilah saudaraku, bahwa al.ilmu laisa bi katsrotir riwaayah walakin al.ilmu al.khosyyah.
Ilmu bukanlah banyaknya hafalan akan tetapi ilmu adalah yang menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Semakin bertambah keimanan kepada Allah. Yang ketika disebut nama Allah hatinya bergetar.
Ketika kita bisa menumbuhkan keimanan anak, maka dengan sendirinya mereka akan merasa butuh terhadap quran. Tanpa harus dipaksa-paksa dan tanpa harus disuruh-suruh. Mereka akan dengan sendirinya meminta diajari quran. Dan tentunya hal semacam ini membutuhkan proses yang tak sebentar. Dan hasilnya pun tak bisa kita lihat secara langsung. Berbeda dengan hafalan yang hasilnya bisa kita saksikan secara langsung.
Mungkin saat ini belum tampak dalam diri anak-anak kita namun yakinlah jika kita sudah menerapkan konsep keimanan ini, kita akan menyaksikannya saat anak usia baligh.
=================
Mengajar berbeda dengan mendidik.
Hakikat sekolah hanyalah tempat untuk mentransfer knowledge(pengetahuan). Guru mentransfer pengetahuan kepada anak didiknya. Sekolah hanya bisa mengajar, sedangkan mendidik adalah tugas orangtua. Karena orangtua memiliki cinta, kasih sayang, dan intuisi yang lebih besar dari pada guru di sekolah. Karena mendidik itu adalah untuk membentuk karakter, akhlak, moral dan ini dilakukan oleh orangtua. Sehingga aspek keimanan ini pun kalo boleh kita bilang ya urusan orangtua, sedangkan sekolah hanya membantu saja. Demikian yang Pak Amirudin bilang saat itu.
Dan masih banyak lagi materi yang kami dapatkan pada diskusi waktu itu yang belum kami tuliskan pada tulisan ini.